Senin, 27 Juni 2011

Misteri Pasar setan di Gunung Merapi


Banyaknya berita mengenai pendaki yang hilang atau meninggal di Gunung Merapi justru memicu anggota grup pencinta alam Giri Kartika untuk pergi ke sana. Pirngadi, ketua grup, yang lebih dikenal dengan panggilan Bagong, telah mengkliping sejumlah berita tentang Merapi.

Satu hal yang menarik perhatiannya adalah pasar setan, yang menurut sebuah tabloid, merupakan tempat berkumpulnya arwah para korban Merapi. Pirngadi mendiskusikannya dengan keempat temannya, Pardede Batak, Markus Sulawesi, Yossy Ambon, dan Made Sukerta dari Bali.

“Jika kita bisa hindari itu pendakian malam, kita bisa hindari itu pasar setan segala,” kata Pardede.
“Itu benar, daripada kita mendapatkan kecelakaan yang tidak masuk akal,” kata Pirngadi.
“Ah, pasar setan itu masalah kecil. Kita harus lebih rasional dong. Kalau tidak berarti kita mundur sekian tahun ke belakang dong,” komentar Markus, yang diiyakan oleh Yossy.
“Tapi tidak ada salahnya untuk tetap waspada,” kata Made.

Karena pasar setan terletak di dekat Pos IV menjelang bibir kawah, mereka sepakat untuk berangkat sore hari dengan perhitungan akan sampai di Pos III pada pagi hari. Dan mereka bisa mendaki ke puncak, melewati Pos IV, pada pagi harinya. Berlima akhirnya mereka berangkat ke Boyolali dan mereka mendaki dipandu oleh pemandu yang direkomendasikan oleh Dinas Pariwisata setempat, yaitu Pak Soeparto.

Sebelum berangkat Pak Parto memberikan briefing tentang apa yang tidak dan yang boleh dilakukan selama pendakian.
“Kita akan melalui empat pos dan tiap pos ada makhluk halus penjaganya. Mereka mengawasi kita selalu, karena itu jangan melanggar larangan-larangan tak tertulis yang saya beritahukan tadi,” kata Pak Parto.

Selesai sholat maghrib, mereka memulai pendakian. Semakin ke atas, udara semakin dingin sehingga mereka memerlukan untuk memakai kaos tangan. Walaupun pemandangan sangat indah; bintang bertabur dan kerlap-kerlip lampu kota Solo dan Magelang, tapi suasana cukup mencengkam. Apalagi ketika mereka telah melewati Pos III.

Saat itu hari telah lewat tengah malam dan mereka telah melewati batu Gajah Mungkur, yang berarti sudah dekat dengan tempat yang dikatakan sebagai pasar setan. Kabut belerang semakin menebal dan terdengar suara-suara persis seperti kalau kita sedang berada di pasar. Akan tetapi tak seorang pun yang tampak.

Lalu tiba-tiba Markus dan Yossy berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan telunjuknya ke arah depan. Suasana menjadi kacau. Pak Parto segera mengambil inisiatif, mengajak semuanya untuk duduk dan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Bau belerang yang semakin menyesakkan dan dingin yang semakin menggigit membuat Pirngadi merasa tubuhnya melayang.

Tiba-tiba ia sudah berada di tengah-tengah sebuah pasar yang penuh orang. Lelaki, perempuan, orang Jawa, Sumatra, dan daerah lainnya, bahkan yang bule juga ada. Anehnya tidak seorangpun yang bersuara, walaupun mereka melakukan transaksi jual beli.

Seorang lelaki berseragam abdi keraton menghampiri Pirngadi dan membawanya ke sebuah kereta kuda yang tertutup. Ketika Pirngadi memasuki kereta tersebut, di dalamnya telah duduk Markus, Yossy, dan Pardede. Mereka diam saja, begitu juga Pirngadi. Mereka kemudian dibawa ke sebuah rumah yang sedang mengadakan pesta perkawinan.

Pirngadi didandani sebagai pengiring pengantin lelaki. Begitu pengantin dipertemukan dan duduk di pelaminan, empat orang pengiring pengantin perempuan yang cantik-cantik datang mengelilingi Pirngadi. Tentu saja ia sangat senang dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik. Tapi ketika menyadari bahwa tidak saja mereka yang bisa, tapi dirinya juga tidak bisa bicara, Pirngadi lalu berontak.

“Masya Allah, aku telah masuk ke dalam alamnya para makhluk halus. Aku harus keluar dari sini,” kata Pirngadi dalam hati. Ia lalu berpura-pura mau buang air kecil, lalu berlari sekuat tenaga ke arah pasar setan. Ia bertemu Pardede dan berdua mereka lari tunggang langgang dikejar oleh seluruh penduduk.

Dengung suara pasar mulai terdengar, tapi mereka yang mengejar Pirngadi dan Pardede semakin dekat saja. Pirngadi lalu teringat pesan kakeknya agar membaca ayat Al Qur’an untuk mengusir setan. Dilihatnya Pardede sudah sempoyongan tinggal jatuhnya saja. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Pirngadi mengucap “Allahu Akbar” tiga kali dan kemudian tak sadarkan diri.

Ketika siuman, ia telah berada di atas tempat tidur di rumah sakit umum Boyolali. Di ranjang sebelahnya terbaring Pardede dengan kondisi yang tidak lebih baik. Pirngadi juga melihat semua saudaranya dan saudara teman-temannya yang datang dari Jakarta bergerombol di luar kamar.

“Pak, di mana teman-temanku yang lain?” tanya Pirngadi kepada Pak Parto.
“Nak Markus hilang entah di mana, sedangkan Nak Yossy ditemukan tewas karena makan buah ‘ninjo’. Lalu Nak Made ditemukan sedang berdiri di bibir kawah, seandainya kita terlambat sedikit saja, entah apa yang akan terjadi pada Nak Made.”

Pirngadi termangu-mangu. Kalau dipikir-pikir, memang ia dan teman-temannya telah banyak melanggar aturan tak tertulis yang telah diberitahukan oleh Pak Parto, seperti misalnya larangan untuk makan buah ‘ninjo’. Menurut Pak Parto, Markus dan Yossy diambil oleh Mbah Kyai Petruk yang menunggu pasar setan.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers